H. Mansur
DT. Nagari Basa
BUYA H. MANSUR Dt. Nagari Basa lahir pada tanggal 15
Juni 1908 di Jorong Kampung Baru, Nagari Kamang Mudik, Kecamatan Tilatang Kamang,
Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Beliau adalah putra sulung dan
satu-satunya laki-laki dari tujuh bersaudara, anak pasangan suami istri
Sidik Dt. Rajo Sikumbang dan Saleha. Sidik Dt.
Rajo Sikumbang yang lebih dikenaldengan Nyiak Kumbang, berasal dari Jorong
Kampuang Tangah Kamang Mudiak,seorang tukang jahit yang jago silat. Beliau adalah anak
kandung dari H. Abdul Manan, tokoh dan pahlawan Perang Kamang.1 Sedangkan Saleha adalah seorang perempuan
cantik anak rang kayo gadang 1 di Kampung Baru. Enamorang adik perempuan Buya H. Mansur
DT. Nagari Basa adalah Zakiyah,Jaonan, Kamari, Marliyah, Syamsinar, dan
Zanidar. Zakiyah adalah adik perempuan beliau yang pertama dan
berwajah cantik yang menikah dengan Mahmud DT. Sati, Urang Kayo Sikumbang Aia Tabik yang punya kedudukan
sangat terhormat sebagai Kapalo Nagari yang lebih dikenal dengan Nyiak Palo2 Kamang Mudik waktu itu (zaman Belanda).
Sebelumnya Mahmud DT. Sati adalah seorang “Preman”3 yang sudah
punya lima istri, tetapi setelah menikah dengan Zakiyah, dan menjadi sumando(ipar) Buya H. Mansur DT. Nagari Basa,
beliau menjadi taat beribadah, ikut suluk dengan Buya H. Mansur, dan
kemudian menunai-kan ibadah haji ke tanah suci Mekkah al Mukarramah.
Mansur kecil mengikuti
pendidikan pertama kali di SekolahRakyat (SR) Pakan Jumat di Kampung Baru. Pada
masa mengikuti pendidikanSekolah Rakyat itu beliau diangkat menjadi DT.
Nagari Basa, kepala suku Simabua4 Kampung Baru. Setelah
menamatkan SekolahRakyat, Mansur DT. Nagari Basa melanjutkan pendidikan Mangaji Duduak5 di rumah seorang Ulama Buya H.
Sulaiman di Koto Kaciak Magek, Kecamatan Tilatang Kamang. Kemudian beliau melanjutkan
pendidikan agama ke Tarbiyah H. Jamil Jaho, yang terkenal dengan
Sekolah Nyiak Jaho di Padang Panjang. Beliau adalah murid yang cerdas,
sehingga setiap kali naik kelas, beliau selalu disuruh Nyiak Jaho mengajar adik
kelasnya.Pada tahun 1928, beliau menamatkan pendidikan di Tarbiyah Jaho.
Karena pintar dan dianggap mampu, beliau diutus mengajar ke Sumani
Batusangkar. Di Sumani, beliau aktif memberikan ceramah dan pengajian
di mesjid-mesjid dan surau-surau. Melihat aktifitas Mansur muda
tersebut, penjajah Belanda mulai cemas. Belanda khawatir, ceramah
Mansur Dt. Nagari Basa tersebut akan mencerdaskan dan akan menimbulkan
semangat juang dan jihad masyarakat untuk menantang penjajah
Belanda. Oleh sebab itu, setelah dua tahun beliau di Sumani, Belanda
membuat issu dan menuduh Mansur DT. Nagari Basa sebagai Komunis,
musuh Belanda, karena itu harus ditangkap.
Sebagai Kapalo Nagari yang dekat
dengan Belanda, Mahmud Dt.Sati -rang sumando- beliau, mendengar berita tersebut. Dengan cepat beliau
menyampaikan kepada mertuanya, DT. Rajo Sikumbang (ayah H. Mansur),
agar segera menjemput Mansur Dt. Nagari Basa ke Sumani, dan
membawanya pulang ke Kampung Baru. Mendengar laporan yang begitu akurat dari Kapalo
Nagari yang juga menantunya, Nyiak Kumbang segera menjemput Mansur Dt.
Nagari Basa ke Sumani dan membawanya pulang ke Kampung Baru. Dua hari setelahsampai
di Kampung Baru, Belanda sampai di Sumani untuk menangkap Mansur DT.
Nagari Basa.
Mendapat laporan bahwa Mansur
Dt. Nagari Basa sudah pulang ke Kampung Baru, Belanda segera
mengejarnya ke Kampung Baru. Sampai di Kampung Baru, Belanda disambut
oleh Nyiak Palo. Dengan penuh yakin
dan mantap, Nyiak Palo mengatakan kepada Belanda “Dia Sumando“ saya, jangan ditangkap, dia aman dalam
pengawasan saya”. Mendengar penjelasan Kapalo Nagari tersebut, Mansur DT. Nagari Basa aman dan
tidak jadi ditangkap Belanda. Di Kampung Baru, setelah kembali dari
Sumani tersebut, Mansur DT. Nagari Basa mulai mengajar dan aktif berceramah. Karenaceramah
beliau, banyak para penjudi yang tersinggung dan marah. Tetapi
karena beliau rang sumando dan di bawah perlindungan Kapalo Nagari,
para penjudi tersebut tidak dapat melancarkan gangguannya.
Pada tahun 1926 H. Mansur
menikah dengan istri pertama beliau bernama Rahmah di Kampuang Tangah.
Terakhir bel iau menikah dengan Umi Rawilah di Samorasok
Kecamatan Baso pada tahun 1940. Menurut Umi Rawilah, beliau menikah
dengan Buya Mansur karena di jodohkan oleh Nyiak Canduang (Syekh
Sulaiman Arrasuli), sebab Umi Rawilah masih ada hubungan keluarga
dengan Nyiak Canduang.
Sekarang (tahun 2012) Umi
Rawilah masih hidup dalam usia 80 tahun. Diantara anak-anak beliau yang
cukup dikenal adalah:
1. KH. Dahdir MS
DT. Asa Bagindo, anak beliau dengan istri pertama Umi Rahmah
Kampung Tangah, pernah menjadi Kanwil Departemen Agama Bengkulu
tahun 1970 sampai tahun 1975. dan terakhir bertugas pada bagian Haji
Departemen Agama Pusat,
2. M. Husni DT. Muncak, pernah menjadi
Panitera Pengadilan Tinggi Agama Padang yang pertama, dan terakhir
beliau menjabat sebagai Ketua Pengadilan Agama Painan tahun 1987 sampai
tahun 1994, dan
3. Drs. Hamidi, yang pernah bertugas di Departemen
Keuangan Pusat.
Pada tahun 1930, tepatnya
tanggal 3 Maret 1930, beliau mendirikan sekolah Tarbiyah Islamiyah yang
sekarang bernama Yayasan Tarbiyah Islamiyah (YATI) Kampung Baru
Kamang Mudik. Menurut cerita kemenakan beliau Nurza Mahmud1, karena begitu banyaknya dukungan
masyarakat yang bergotong royong, sekolah tersebut selesai dibangun
dalam waktu satu hari.
Sekolah tersebut banyak menerima murid
dari dalam dan luar daerah, seperti dari Tapanuli, Riau dan
Jambi. Murid-murid sekolah H. Mansur tersebut banyak yang berhasil,
salah satunya adalah Adnan Harahap, yang pernah menjadi Dirjen dan
kemudian menjadi Asisten Menteri Agama Tarmizi Taher, dan lebih
banyak lagi yang berkiprah di Pengadilan Agama.
Pada tahun 1955, beliau terpilih
sebagai Anggota Konstituante RI hasil pemilu pertama. Ketika menjadi
Anggota Konstituante tersebut, beliau yang pertama kali mengusulkan
kepada presiden Soekarno, agar di sekolah umum dimasukkan mata
pelajaran Agama Islam. Karenausulan beliau tersebut, beliau diancam akan
ditembak di Cipayung bila tidak mencabut usulan tersebut. Menurut
Nurza Mahmud, pada waktu itu, ayahnya Mahmud DT. Sati (Nyiak
Palo) menyampaikan kepada seluruh keluarga, bahwa H. Mansur DT.
Nagari Basa sedang mendapat ancaman akan di tembak di Cipayung
karena usulan tersebut, oleh karena itu seluruh keluarga diharapkan
untuk mendo’akan agar beliau selamat. Alhamdulillah, kata Nurza Mahmud, Buya selamat dan
usulan beliau diterima untuk memasukkan mata pelajaran Agama Islam ke sekolah
umum. Pada tahun 1958 Buya H. Mansur Dt. Nagari Basa diangkat sebagai Ketua
Mahkamah Syari’ah Sumatera Tengah yang pertama, yang dahulu
wilayah hukumnya meliputi Sumatera Barat, Riau dan Jambi, dan
sekarang dikenal dengan Pengadilan Tinggi Agama Padang. Beliau dipercaya
memegang jabatan tersebut sampai tahun 1963.
Menurut sejarah Pengadilan
Agama/Pengadilan Tinggi Agama, sebelumnya di Sumatera Barat sudah ada
Pengadilan Tinggi Agama dengan nama Mahkamah Islam Tinggi (MIT)
berkantor di Bukittinggi, yang wilayah hukumnya meliputi Sumatera
Barat, Riau, dan Jambi. Tetapi Mahkamah Islam Tinggi ini,
dibentuk bukan berdasarkan peraturan perundang-undangan, melainkan berdasarkan
musyawarah Ulama Sumatera Barat, Riau, dan Jambi untuk memenuhi kebutuhan peradilan
umat, yang waktu itu terpilih menjadi ketuanya Syekh Sulaiman Arrasuli
(Nyiak Canduang). Mahkamah Islam Tinggi ini kemudianbubar begitu saja seiring
dengan pergolakan perang APRI dengan PRRI.
Buya H. Mansur DT.Nagari Basa
diwawancarai wartawan TVRI
setelah sidang DPR/MPR .
Ada yang unik dan menarik
perhatian orang ketika beliau menjabat Ketua Mahkamah Syari’ah
Propinsi (PTA Padang) tersebut. Beliau mengangkat M. Husndi DT. Muncak
BA, anak kandung beliau sebagai Panitera. Ketika ditanya orang
tentang hal itu, beliau menjawab “Kini zaman bagolak1, sulit membedakan mana lawan dan mana
kawan, oleh karena itu saya harus mengangkat orang yang saya kenal, saya ketahui
kemampuannya, orang yang benar-benar saya percaya, dia anak saya,
dia memenuhi syarat untuk itu, dan saya jamin dia akan melakukan
apa yang saya perintahkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku”
tegasnya. Hal yang tak kalah pentingnya menjadi perhatian, bahkan menjadi
kritikan orang kepada beliau adalah ketika beliau banyak mengangkat
murid-murid beliau menjadi Ketua Pengadilan Agama, sampai
orang menuduh bahwa Pengadilan Agama di Sumatera Barat sudah
menjadi pengadilan “Mansuriyah1”. Karena itu Buya Mansur “dilaporkan”
ke Departemen Agama Pusat.
Ketika Pejabat Departemen Agama
Pusat datang dan memeriksa beliau. Dengan tenang beliau mengatakan,
orang-orang yang saya angkat adalah orang-orang yang mampu dan
telah lulus tes yang saya adakan untuk itu, dan tidak semua ketua
Pengadilan Agama berasal dari murid saya, ada juga yang berasal dari
Thawalib Padang Panjang. Kalau bapak mau, silahkan Bapak uji sendiri
ketua-ketua tersebut. Begitu Buya menjelaskannya kepada Pejabat
Departemen Agama Pusat.
Setelah Pejabat Departemen Agama
Pusat menguji ketua-ketua Pengadilan Agama Tersebut, ternyata Buya
benar, mereka semua mampu, kalaupun banyak diantara mereka
bekas murid-murid buya, itu hanya soal kebetulan. Demikian
diceritakan oleh Ibu Nurza Mahmud, kemenakan sekaligus menantu Buya, dan
demikian pula yang dicerita oleh Drs. Pelmizar, MHI.2 Menurut Drs. H. Usman Hesein,
MS,3, kebijakan yang diambil Buya,
adalah kebijakan yang sangat dibutuhkan saat itu, sebagai lembaga
baru, Pengadilan Tinggi Agama waktu itu harus didukung oleh orang-orang
yang solid. Apabila Buya Mansur mengangkat orang-orang yang
berbeda paham, maka Pengadilan Tinggi Agama yang baru dibentuk
itu, akan langsung pula menghadapi masalah dengan dirinya sendiri.
Terbukti kemudian, kata Usman Husein, putusan Pengadilan Agama
saling berbeda terhadap perkara yang sama, dan Pengadilan Tinggi
Agama seringkali membatalkan putusan Pengadilan Agama, hanya karena perbedaan
paham dan perbedaan rujukan hakim-hakim tersebut. Hal ini terjadi sampai
lahirnya Kompilasi Hukum Islam tahun 1991, katanya menambahkan.
Setelah masa jabatan Buya
berakhir sebagai Ketua Mahkamah Syari’ah Propinsi, Buya diangkat sebagai
Kepala Pengawas Peradilan Agama Departemen Agama RI pada tahun
1963 sampai tahun 1969. Selama menjabat sebagai Kepala Pengawas
Peradilan Agama, Buya juga menjadi anggota MPRS tahun 1966, dan
menjadi Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Imam Bonjol di Bukittinggi
1967 sampai 1973. Belum berakhir masa jabatan Dekan Fakultas
Syari’ah, Buya juga diangkat menjadi Ketua Presidium IAIN Imam Bonjol
Padang pada tahun 1971. Sebelumnya, Buya pernah menjabat sebagai
Kepala Tarbiyah Islamiyah Yati Kamang Mudik tahun 1929 sampai
tahun 1950, dan Pimpinan Kuliah Syari’ah Bukittinggi tahun 1950
sampai tahun 1954.
Karya Buya H. Mansur.
Disamping sebagai sosok ulama
yang menjadi tauladan karena budi pekerti dan sikapnya, beliau juga
menuangkan ide-ide dan hasil pemikirannya dalam bentuk tulisan,
diantara karya beliau adalah :
1. Biayatul Ushul. Buku yang berisi
tentang Ikhtisar Ushul Fiqh, yang diterbitkan oleh Pustaka Sa’diyah
Bukittinggi, tahun 1971, dan sekarang dijadikan buku pegangan pada
kelas 4 Madrasah Tarbiyah Islamiyah Candung.
2. Alfaraidh, yang beliau tulis ketika
beliau menjabat Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Imam Bonjol Bukittinggi.
3. Buku Keluarga Berencana dalam Islam,
yang beliau tulis pada tahun 1979.
4. Dan ada juga buku Ahwalul Mardiyah
serta buku Hidayatu al Thalibin.
Pesan-Pesan Buya Mansur.
Diantara pesan-pesan Buya yang
paling berkesan disampaikan oleh salah seorang murid beliau Khaitul
Malin Muhammad.1 Buya berpesan
“Belajarlah terus tanpa henti, karena ilmu itu bagaikan samudra
yang dalam dan luas. Jangan merasa sudah pintar, karena di atas orang
yang pintar, ada orang yang lebih pintar.
فوق ذى علم عليم
“di atas orang ‘alim, ada yang lebih
‘alim”
Dan jangan pula merasa tidak ada lagi
guru yang lebih pintar tempatnya belajar, karena setan akan
menjadi guru (menyesatkan) orang yang merasa tidak ada lagi guru
yang lebih pintar darinya”.
الشيطان شيخ لمن لا شيخ له
“Syaithan akan menjadi guru/menyesatkan
orang yang merasa tidak ada
lagi guru baginya”
Selanjutnya, menurut Khairul
Malin Muhammad, Buya mengatakan bahwa “Ilmu itu tidak cukup hanya dengan
membaca, tetapi perlu dituangkan dari hati ke hati, dari seorang
guru kepada muridnya, agar bisa dipahami dan diamalkan secara
sempurna dan benar”.
Terkait dengan pesan yang satu
ini, beliau sendiri menceritakan, bahwa walaupun beliau sudah menguasai
ilmu tarikat dengan membaca dan mempelajari buku-buku tarikat,
tetapi untuk bisa mengamalkan dan mengajarkannya secara benar, beliau
tidak segan-segan belajar yang dikenal dengan istilah manjapuik ilmu (menjemput ilmu) kepada
seorang “Abid” H. Karim di Bansa, minta diajarkan
cara mengamalkan ilmu tarikat. Drs. H. Darnis Burhan1,
menceritakan bahwa Buya selalu mendorong murid dan mahasiswa
beliau untuk sekolah lebih tinggi, beliau mengatakan: “Kalian harus sekolah lebih tinggi,
karena ilmu itu sangat penting, dan segala
zaman membutuhkan, saya jangan ditiru, meskipun saya hanya tamatan Tarbiyah Islamiyah, tidak
pernah kuliah atau sekolah tinggi, tetapi saya
bisa menjadi Ketua Pengadilan Tinggi Agama Sumbar, Riau, dan Jambi,
bisa jadi dekan Fakultas Syari’ah IAIN Imam Bonjol Bukittinggi dan Ketua Presidium IAIN Imam Bonjol Padang, tetapi ini sangat langka, dan jangan kalian jadikan
contoh”, pesannya
sambil berseloroh tetapi dengan kesan sungguh-sungguh. Menurut
Drs. H. Khairul Huda,2 Buya Mansur berpesan supaya seluruh
anak-anak, masuk ke sekolah agama terlebih dahulu, kemudianbaru melanjutkan
kemana saja, sehingga kalaupun nanti dia sempat tersesat
(tersalah), dia tahu tempat kembali.. Kemudian Khairul Huda, mengatakan
bahwa Buya Mansur juga berpesan kepada murid-murid beliau
untuk bisa bekerja di mana saja, tetapi jangan lupakan identitas.
Keutamaan Buya Mansur
Ada keutamaan Buya Mansur yang
jarang dimiliki oleh orang lain. Menurut Usman Husein, Buya Mansur hanya
tamatan Tarbiyah Islamiyah, tetapi beliau disegani oleh ulama-ulama
tamatan Sarjana dan bahkan tamatan Mesir sekalipun, seperti
Buya H. Ma’ana Hasnuti, MA., dan Buya H. Izzuddin Marzuki, LAL. Di
samping itu, meskipun ulama Tarbiyah, beliau juga disegani dan
dihormati oleh ulama-ulama Muhammadiyah, seperti Buya. H. Dt. Palimo
Kayo, Buya Drs. H. Rustam Ibrahim (Ketua PTA Padang yang keenam), Buya H.
Dt. Tan Kabasaran, dan lainlain. Buya H. M.S. Dt. Tan Kabasaran,1, juga mengatakan bahwa Buya Mansur
adalah orang yang benar-benar Malin2. Beliau orang Tarbiyah, tetapi tidak keras terhadap
Muhammadiyah, meskipun teguh denganketarbiyahannya. Menurut H.
Alizar Jas, SH.MH.3, Buya Mansur sangat dihormati oleh banyak
orang. Kalau beliau berjalan, tidak ada yang berani mendahului, bahkan
orang yang bersepeda sekalipun, bila bertemu dengan beliau,
pasti turun dari sepeda dan mengiringi beliau sambil berjalan. Kemudian
Alizar Jas, menambahkan, bahwa kalau ada orang yang ingin bersalaman
dengan Buya Mansur, tidak ada yang berani berdiri di hadapan
beliau, paling berani hanya berdiri di samping sambil menyapa dan
menjabat tangan Buya seraya menunduk. Suwarni, S.Pd.I4 menceritakan, nama Buya punya kharisma yang sangat
tinggi di tengah-tengah masyarakat, mendengar nama Buya saja orang sudah
takut. Pernah suatu ketika, ada pertengkaran dan perkelahian besar yang
tidak dapat dihentikan ditengah-tengah masyara-kat. Lalu ada yang berkata, biar
saya laporkan kepada Buya, tiba-tiba perkelahian itu langsung berhenti dan
orang-orang segera bubar.
Surau Buya Mansur.
Untuk memberikan dakwah rutin
serta ajaran tharikat dan suluk setiap hari Selasa, Buya Mansur DT.
Nagari Basa mendirkan Surau yang lebih dikenal oleh masyarakat dengan
Surau Nyiak Haji Mansur di kampung Baru. Sampai saat ini, wirid
pengajian serta ajaran tharikat dan suluk masih tetap hidup di surau ini,
dilanjutkan dan dipimpin oleh muridmurid beliau seperti Ustad Khairul
Malin Muhammad di bidang dakwah, dan Rifa’i Kari Mudo serta Mirzan DT.
Rajo Agam di bidang tarikat danSuluk.
Surau Buya Mansur
Buya Mansur Wafat.
Innalillahi wa inna
ilaihi rajiu’un. Pada
tanggal 25 Maret 1997, Buya H. Mansur DT. Nagari Basa meninggal
dunia dipanggil menghadap yang Kuasa dan dimakamkan di halaman
sekolah yang beliau dirikan ---YATI Kampung Baru Kamang Mudik---. Semoga arwah
beliau di tempatkan pada tempat yang layak di sisi Nya.
Amin.
Sumber
Peradilan Agama di Ranah Adat Basandi
Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah. Profil Ulama dan Tokoh Peradilan Agama Sumatera Barat; Tim Penyusun PTA Padang.—Padang,
Sumatera Barat, mb.design Padang, 2012 xxvii + 179 hal.; 15 x 23 cm.