Senin, 23 April 2018

BUYA H. MANSUR Dt. Nagari Basa - The inspiring leader -





H. Mansur DT. Nagari Basa

BUYA H. MANSUR Dt. Nagari Basa lahir pada tanggal 15 Juni 1908 di Jorong Kampung Baru, Nagari Kamang Mudik, Kecamatan Tilatang Kamang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Beliau adalah putra sulung dan satu-satunya laki-laki dari tujuh bersaudara, anak pasangan suami istri Sidik Dt. Rajo Sikumbang dan Saleha. Sidik Dt. Rajo Sikumbang yang lebih dikenaldengan Nyiak Kumbang, berasal dari Jorong Kampuang Tangah Kamang Mudiak,seorang tukang jahit yang jago silat. Beliau adalah anak kandung dari H. Abdul Manan, tokoh dan pahlawan Perang Kamang.1 Sedangkan Saleha adalah seorang perempuan cantik anak rang kayo gadang 1 di Kampung Baru. Enamorang adik perempuan Buya H. Mansur DT. Nagari Basa adalah Zakiyah,Jaonan, Kamari, Marliyah, Syamsinar, dan Zanidar. Zakiyah adalah adik perempuan beliau yang pertama dan berwajah cantik yang menikah dengan Mahmud DT. Sati, Urang Kayo Sikumbang Aia Tabik yang punya kedudukan sangat terhormat sebagai Kapalo Nagari yang lebih dikenal dengan Nyiak Palo2 Kamang Mudik waktu itu (zaman Belanda). Sebelumnya Mahmud DT. Sati adalah seorang “Preman3 yang sudah punya lima istri, tetapi setelah menikah dengan Zakiyah, dan menjadi sumando(ipar) Buya H. Mansur DT. Nagari Basa, beliau menjadi taat beribadah, ikut suluk dengan Buya H. Mansur, dan kemudian menunai-kan ibadah haji ke tanah suci Mekkah al Mukarramah.
Mansur kecil mengikuti pendidikan pertama kali di SekolahRakyat (SR) Pakan Jumat di Kampung Baru. Pada masa mengikuti pendidikanSekolah Rakyat itu beliau diangkat menjadi DT. Nagari Basa, kepala suku Simabua4 Kampung Baru. Setelah menamatkan SekolahRakyat, Mansur DT. Nagari Basa melanjutkan pendidikan Mangaji Duduak5 di rumah seorang Ulama Buya H. Sulaiman di Koto Kaciak Magek, Kecamatan Tilatang Kamang. Kemudian beliau melanjutkan pendidikan agama ke Tarbiyah H. Jamil Jaho, yang terkenal dengan Sekolah Nyiak Jaho di Padang Panjang. Beliau adalah murid yang cerdas, sehingga setiap kali naik kelas, beliau selalu disuruh Nyiak Jaho mengajar adik kelasnya.Pada tahun 1928, beliau menamatkan pendidikan di Tarbiyah Jaho. Karena pintar dan dianggap mampu, beliau diutus mengajar ke Sumani Batusangkar. Di Sumani, beliau aktif memberikan ceramah dan pengajian di mesjid-mesjid dan surau-surau. Melihat aktifitas Mansur muda tersebut, penjajah Belanda mulai cemas. Belanda khawatir, ceramah Mansur Dt. Nagari Basa tersebut akan mencerdaskan dan akan menimbulkan semangat juang dan jihad masyarakat untuk menantang penjajah Belanda. Oleh sebab itu, setelah dua tahun beliau di Sumani, Belanda membuat issu dan menuduh Mansur DT. Nagari Basa sebagai Komunis, musuh Belanda, karena itu harus ditangkap.
Sebagai Kapalo Nagari yang dekat dengan Belanda, Mahmud Dt.Sati -rang sumando- beliau, mendengar berita tersebut. Dengan cepat beliau menyampaikan kepada mertuanya, DT. Rajo Sikumbang (ayah H. Mansur), agar segera menjemput Mansur Dt. Nagari Basa ke Sumani, dan membawanya pulang ke Kampung Baru. Mendengar laporan yang begitu akurat dari Kapalo Nagari yang juga menantunya, Nyiak Kumbang segera menjemput Mansur Dt. Nagari Basa ke Sumani dan membawanya pulang ke Kampung Baru. Dua hari setelahsampai di Kampung Baru, Belanda sampai di Sumani untuk menangkap Mansur DT. Nagari Basa.
Mendapat laporan bahwa Mansur Dt. Nagari Basa sudah pulang ke Kampung Baru, Belanda segera mengejarnya ke Kampung Baru. Sampai di Kampung Baru, Belanda disambut oleh Nyiak Palo. Dengan penuh yakin dan mantap, Nyiak Palo mengatakan kepada Belanda “Dia Sumando“ saya, jangan ditangkap, dia aman dalam pengawasan saya”. Mendengar penjelasan Kapalo Nagari tersebut, Mansur DT. Nagari Basa aman dan tidak jadi ditangkap Belanda. Di Kampung Baru, setelah kembali dari Sumani tersebut, Mansur DT. Nagari Basa mulai mengajar dan aktif berceramah. Karenaceramah beliau, banyak para penjudi yang tersinggung dan marah. Tetapi karena beliau rang sumando dan di bawah perlindungan Kapalo Nagari, para penjudi tersebut tidak dapat melancarkan gangguannya.
Pada tahun 1926 H. Mansur menikah dengan istri pertama beliau bernama Rahmah di Kampuang Tangah. Terakhir bel iau menikah dengan Umi Rawilah di Samorasok Kecamatan Baso pada tahun 1940. Menurut Umi Rawilah, beliau menikah dengan Buya Mansur karena di jodohkan oleh Nyiak Canduang (Syekh Sulaiman Arrasuli), sebab Umi Rawilah masih ada hubungan keluarga dengan Nyiak Canduang.
Sekarang (tahun 2012) Umi Rawilah masih hidup dalam usia 80 tahun. Diantara anak-anak beliau yang cukup dikenal adalah:
1. KH. Dahdir MS DT. Asa Bagindo, anak beliau dengan istri pertama Umi Rahmah Kampung Tangah, pernah menjadi Kanwil Departemen Agama Bengkulu tahun 1970 sampai tahun 1975. dan terakhir bertugas pada bagian Haji Departemen Agama Pusat,
2. M. Husni DT. Muncak, pernah menjadi Panitera Pengadilan Tinggi Agama Padang yang pertama, dan terakhir beliau menjabat sebagai Ketua Pengadilan Agama Painan tahun 1987 sampai tahun 1994, dan
3. Drs. Hamidi, yang pernah bertugas di Departemen Keuangan Pusat.
Pada tahun 1930, tepatnya tanggal 3 Maret 1930, beliau mendirikan sekolah Tarbiyah Islamiyah yang sekarang bernama Yayasan Tarbiyah Islamiyah (YATI) Kampung Baru Kamang Mudik. Menurut cerita kemenakan beliau Nurza Mahmud1, karena begitu banyaknya dukungan masyarakat yang bergotong royong, sekolah tersebut selesai dibangun dalam waktu satu hari.
Sekolah tersebut banyak menerima murid dari dalam dan luar daerah, seperti dari Tapanuli, Riau dan Jambi. Murid-murid sekolah H. Mansur tersebut banyak yang berhasil, salah satunya adalah Adnan Harahap, yang pernah menjadi Dirjen dan kemudian menjadi Asisten Menteri Agama Tarmizi Taher, dan lebih banyak lagi yang berkiprah di Pengadilan Agama.
Pada tahun 1955, beliau terpilih sebagai Anggota Konstituante RI hasil pemilu pertama. Ketika menjadi Anggota Konstituante tersebut, beliau yang pertama kali mengusulkan kepada presiden Soekarno, agar di sekolah umum dimasukkan mata pelajaran Agama Islam. Karenausulan beliau tersebut, beliau diancam akan ditembak di Cipayung bila tidak mencabut usulan tersebut. Menurut Nurza Mahmud, pada waktu itu, ayahnya Mahmud DT. Sati (Nyiak Palo) menyampaikan kepada seluruh keluarga, bahwa H. Mansur DT. Nagari Basa sedang mendapat ancaman akan di tembak di Cipayung karena usulan tersebut, oleh karena itu seluruh keluarga diharapkan untuk mendo’akan agar beliau selamat. Alhamdulillah, kata Nurza Mahmud, Buya selamat dan usulan beliau diterima untuk memasukkan mata pelajaran Agama Islam ke sekolah umum. Pada tahun 1958 Buya H. Mansur Dt. Nagari Basa diangkat sebagai Ketua Mahkamah Syari’ah Sumatera Tengah yang pertama, yang dahulu wilayah hukumnya meliputi Sumatera Barat, Riau dan Jambi, dan sekarang dikenal dengan Pengadilan Tinggi Agama Padang. Beliau dipercaya memegang jabatan tersebut sampai tahun 1963.
Menurut sejarah Pengadilan Agama/Pengadilan Tinggi Agama, sebelumnya di Sumatera Barat sudah ada Pengadilan Tinggi Agama dengan nama Mahkamah Islam Tinggi (MIT) berkantor di Bukittinggi, yang wilayah hukumnya meliputi Sumatera Barat, Riau, dan Jambi. Tetapi Mahkamah Islam Tinggi ini, dibentuk bukan berdasarkan peraturan perundang-undangan, melainkan berdasarkan musyawarah Ulama Sumatera Barat, Riau, dan Jambi untuk memenuhi kebutuhan peradilan umat, yang waktu itu terpilih menjadi ketuanya Syekh Sulaiman Arrasuli (Nyiak Canduang). Mahkamah Islam Tinggi ini kemudianbubar begitu saja seiring dengan pergolakan perang APRI dengan PRRI.

Buya H. Mansur DT.Nagari Basa diwawancarai wartawan TVRI
setelah sidang DPR/MPR .

Ada yang unik dan menarik perhatian orang ketika beliau menjabat Ketua Mahkamah Syari’ah Propinsi (PTA Padang) tersebut. Beliau mengangkat M. Husndi DT. Muncak BA, anak kandung beliau sebagai Panitera. Ketika ditanya orang tentang hal itu, beliau menjawab Kini zaman bagolak1, sulit membedakan mana lawan dan mana kawan, oleh karena itu saya harus mengangkat orang yang saya kenal, saya ketahui kemampuannya, orang yang benar-benar saya percaya, dia anak saya, dia memenuhi syarat untuk itu, dan saya jamin dia akan melakukan apa yang saya perintahkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku” tegasnya. Hal yang tak kalah pentingnya menjadi perhatian, bahkan menjadi kritikan orang kepada beliau adalah ketika beliau banyak mengangkat murid-murid beliau menjadi Ketua Pengadilan Agama, sampai orang menuduh bahwa Pengadilan Agama di Sumatera Barat sudah menjadi pengadilan “Mansuriyah1”. Karena itu Buya Mansur “dilaporkan” ke Departemen Agama Pusat.
Ketika Pejabat Departemen Agama Pusat datang dan memeriksa beliau. Dengan tenang beliau mengatakan, orang-orang yang saya angkat adalah orang-orang yang mampu dan telah lulus tes yang saya adakan untuk itu, dan tidak semua ketua Pengadilan Agama berasal dari murid saya, ada juga yang berasal dari Thawalib Padang Panjang. Kalau bapak mau, silahkan Bapak uji sendiri ketua-ketua tersebut. Begitu Buya menjelaskannya kepada Pejabat Departemen Agama Pusat.
Setelah Pejabat Departemen Agama Pusat menguji ketua-ketua Pengadilan Agama Tersebut, ternyata Buya benar, mereka semua mampu, kalaupun banyak diantara mereka bekas murid-murid buya, itu hanya soal kebetulan. Demikian diceritakan oleh Ibu Nurza Mahmud, kemenakan sekaligus menantu Buya, dan demikian pula yang dicerita oleh Drs. Pelmizar, MHI.2 Menurut Drs. H. Usman Hesein, MS,3, kebijakan yang diambil Buya, adalah kebijakan yang sangat dibutuhkan saat itu, sebagai lembaga baru, Pengadilan Tinggi Agama waktu itu harus didukung oleh orang-orang yang solid. Apabila Buya Mansur mengangkat orang-orang yang berbeda paham, maka Pengadilan Tinggi Agama yang baru dibentuk itu, akan langsung pula menghadapi masalah dengan dirinya sendiri. Terbukti kemudian, kata Usman Husein, putusan Pengadilan Agama saling berbeda terhadap perkara yang sama, dan Pengadilan Tinggi Agama seringkali membatalkan putusan Pengadilan Agama, hanya karena perbedaan paham dan perbedaan rujukan hakim-hakim tersebut. Hal ini terjadi sampai lahirnya Kompilasi Hukum Islam tahun 1991, katanya menambahkan.
Setelah masa jabatan Buya berakhir sebagai Ketua Mahkamah Syari’ah Propinsi, Buya diangkat sebagai Kepala Pengawas Peradilan Agama Departemen Agama RI pada tahun 1963 sampai tahun 1969. Selama menjabat sebagai Kepala Pengawas Peradilan Agama, Buya juga menjadi anggota MPRS tahun 1966, dan menjadi Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Imam Bonjol di Bukittinggi 1967 sampai 1973. Belum berakhir masa jabatan Dekan Fakultas Syari’ah, Buya juga diangkat menjadi Ketua Presidium IAIN Imam Bonjol Padang pada tahun 1971. Sebelumnya, Buya pernah menjabat sebagai Kepala Tarbiyah Islamiyah Yati Kamang Mudik tahun 1929 sampai tahun 1950, dan Pimpinan Kuliah Syari’ah Bukittinggi tahun 1950 sampai tahun 1954.
Karya Buya H. Mansur.
Disamping sebagai sosok ulama yang menjadi tauladan karena budi pekerti dan sikapnya, beliau juga menuangkan ide-ide dan hasil pemikirannya dalam bentuk tulisan, diantara karya beliau adalah :
1. Biayatul Ushul. Buku yang berisi tentang Ikhtisar Ushul Fiqh, yang diterbitkan oleh Pustaka Sa’diyah Bukittinggi, tahun 1971, dan sekarang dijadikan buku pegangan pada kelas 4 Madrasah Tarbiyah Islamiyah Candung.
2. Alfaraidh, yang beliau tulis ketika beliau menjabat Dekan Fakultas Syari’ah IAIN Imam Bonjol Bukittinggi.
3. Buku Keluarga Berencana dalam Islam, yang beliau tulis pada tahun 1979.
4. Dan ada juga buku Ahwalul Mardiyah serta buku Hidayatu al Thalibin.
Pesan-Pesan Buya Mansur.
Diantara pesan-pesan Buya yang paling berkesan disampaikan oleh salah seorang murid beliau Khaitul Malin Muhammad.1 Buya berpesan “Belajarlah terus tanpa henti, karena ilmu itu bagaikan samudra yang dalam dan luas. Jangan merasa sudah pintar, karena di atas orang yang pintar, ada orang yang lebih pintar.
فوق ذى علم عليم
“di atas orang ‘alim, ada yang lebih ‘alim”
Dan jangan pula merasa tidak ada lagi guru yang lebih pintar tempatnya belajar, karena setan akan menjadi guru (menyesatkan) orang yang merasa tidak ada lagi guru yang lebih pintar darinya”.
الشيطان شيخ لمن لا شيخ له
“Syaithan akan menjadi guru/menyesatkan orang yang merasa tidak ada
lagi guru baginya”
Selanjutnya, menurut Khairul Malin Muhammad, Buya mengatakan bahwa “Ilmu itu tidak cukup hanya dengan membaca, tetapi perlu dituangkan dari hati ke hati, dari seorang guru kepada muridnya, agar bisa dipahami dan diamalkan secara sempurna dan benar”.
Terkait dengan pesan yang satu ini, beliau sendiri menceritakan, bahwa walaupun beliau sudah menguasai ilmu tarikat dengan membaca dan mempelajari buku-buku tarikat, tetapi untuk bisa mengamalkan dan mengajarkannya secara benar, beliau tidak segan-segan belajar yang dikenal dengan istilah manjapuik ilmu (menjemput ilmu) kepada seorang “Abid” H. Karim di Bansa, minta diajarkan cara mengamalkan ilmu tarikat. Drs. H. Darnis Burhan1, menceritakan bahwa Buya selalu mendorong murid dan mahasiswa beliau untuk sekolah lebih tinggi, beliau mengatakan: “Kalian harus sekolah lebih tinggi, karena ilmu itu sangat penting, dan segala zaman membutuhkan, saya jangan ditiru, meskipun saya hanya tamatan Tarbiyah Islamiyah, tidak pernah kuliah atau sekolah tinggi, tetapi saya bisa menjadi Ketua Pengadilan Tinggi Agama Sumbar, Riau, dan Jambi, bisa jadi dekan Fakultas Syari’ah IAIN Imam Bonjol Bukittinggi dan Ketua Presidium IAIN Imam Bonjol Padang, tetapi ini sangat langka, dan jangan kalian jadikan contoh”, pesannya sambil berseloroh tetapi dengan kesan sungguh-sungguh. Menurut Drs. H. Khairul Huda,2 Buya Mansur berpesan supaya seluruh anak-anak, masuk ke sekolah agama terlebih dahulu, kemudianbaru melanjutkan kemana saja, sehingga kalaupun nanti dia sempat tersesat (tersalah), dia tahu tempat kembali.. Kemudian Khairul Huda, mengatakan bahwa Buya Mansur juga berpesan kepada murid-murid beliau untuk bisa bekerja di mana saja, tetapi jangan lupakan identitas.
Keutamaan Buya Mansur
Ada keutamaan Buya Mansur yang jarang dimiliki oleh orang lain. Menurut Usman Husein, Buya Mansur hanya tamatan Tarbiyah Islamiyah, tetapi beliau disegani oleh ulama-ulama tamatan Sarjana dan bahkan tamatan Mesir sekalipun, seperti Buya H. Ma’ana Hasnuti, MA., dan Buya H. Izzuddin Marzuki, LAL. Di samping itu, meskipun ulama Tarbiyah, beliau juga disegani dan dihormati oleh ulama-ulama Muhammadiyah, seperti Buya. H. Dt. Palimo Kayo, Buya Drs. H. Rustam Ibrahim (Ketua PTA Padang yang keenam), Buya H. Dt. Tan Kabasaran, dan lainlain. Buya H. M.S. Dt. Tan Kabasaran,1, juga mengatakan bahwa Buya Mansur adalah orang yang benar-benar Malin2. Beliau orang Tarbiyah, tetapi tidak keras terhadap Muhammadiyah, meskipun teguh denganketarbiyahannya. Menurut H. Alizar Jas, SH.MH.3, Buya Mansur sangat dihormati oleh banyak orang. Kalau beliau berjalan, tidak ada yang berani mendahului, bahkan orang yang bersepeda sekalipun, bila bertemu dengan beliau, pasti turun dari sepeda dan mengiringi beliau sambil berjalan. Kemudian Alizar Jas, menambahkan, bahwa kalau ada orang yang ingin bersalaman dengan Buya Mansur, tidak ada yang berani berdiri di hadapan beliau, paling berani hanya berdiri di samping sambil menyapa dan menjabat tangan Buya seraya menunduk. Suwarni, S.Pd.I4 menceritakan, nama Buya punya kharisma yang sangat tinggi di tengah-tengah masyarakat, mendengar nama Buya saja orang sudah takut. Pernah suatu ketika, ada pertengkaran dan perkelahian besar yang tidak dapat dihentikan ditengah-tengah masyara-kat. Lalu ada yang berkata, biar saya laporkan kepada Buya, tiba-tiba perkelahian itu langsung berhenti dan orang-orang segera bubar.
Surau Buya Mansur.
Untuk memberikan dakwah rutin serta ajaran tharikat dan suluk setiap hari Selasa, Buya Mansur DT. Nagari Basa mendirkan Surau yang lebih dikenal oleh masyarakat dengan Surau Nyiak Haji Mansur di kampung Baru. Sampai saat ini, wirid pengajian serta ajaran tharikat dan suluk masih tetap hidup di surau ini, dilanjutkan dan dipimpin oleh muridmurid beliau seperti Ustad Khairul Malin Muhammad di bidang dakwah, dan Rifa’i Kari Mudo serta Mirzan DT. Rajo Agam di bidang tarikat danSuluk.

Surau Buya Mansur

Buya Mansur Wafat.
Innalillahi wa inna ilaihi rajiu’un. Pada tanggal 25 Maret 1997, Buya H. Mansur DT. Nagari Basa meninggal dunia dipanggil menghadap yang Kuasa dan dimakamkan di halaman sekolah yang beliau dirikan ---YATI Kampung Baru Kamang Mudik---. Semoga arwah beliau di tempatkan pada tempat yang layak di sisi Nya. Amin.

Sumber
Peradilan Agama di Ranah Adat Basandi Syara’, Syara’ Basandi Kitabullah. Profil Ulama dan Tokoh  Peradilan Agama Sumatera Barat; Tim Penyusun PTA Padang.—Padang, Sumatera Barat, mb.design Padang, 2012 xxvii + 179 hal.; 15 x 23 cm.