Sabtu, 30 April 2011

  1. PENGERTIAN WAYANG

I.1 Asal-Usul Kata Wayang

    Kata wayang (bahasa Jawa), bervariasi dengan kata bayang, yang berarti bayangan; seperti halnya kata watu dan batu, yang berarti batu dan kata wuri dan buri, yang berarti belakang. Bunyi b dilambangkan dangan huruf b dan w pada kata yang pertama dengan yang kedua tidak mengakibatkan perubahan makna pada kedua kata tersebut. G.A.J. Hazeu mengatakan bahwa wayang dalam bahasa/kata Jawa berarti: bayangan , dalam bahasa melayu artinya: bayang-bayang, yang artinya bayangan, samar-samar, menerawang. Bahasa Bikol menurut keterangan Profesor Kern, bayang, barang atau menerawang. Semua itu berasal dari akar kata "yang" yang berganti-ganti suara yung, yong, seperti dalam kata: laying (nglayang)=yang, dhoyong=yong, reyong=yong, reyong-reyong, atau reyang-reyong yang berarti selalu berpindah tempat sambil membawa sesuatu, poyang-payingen, ruwet dari kata asal: poyang, akar kata yang. Menurut hasil perbandingan dari arti kata yang akar katanya berasal dari yang dan sebagainya tadi, maka jelas bahwa arti dari akar kata: yang, yung, yong ialah bergerak berkali-kali, tidak tetap, melayang,

    Pengertian bayang-bayang/bayangan yang lain untuk menerangkan kata dan makna wayang itu dalam bahasa Jawa yang disebut sebagai ayang-ayang. Misalnya seseorang yang sedang berdiri atau duduk di suatu tempat, kemudian ia diterpa cahaya matahari yang mengenai badan orang itu, maka orang itu menghasilkan bayangan. Bayangan inilah yang kemudian oleh orang Jawa sering dinamakan ayang-ayang. Tentu saja panjang-pendeknya ayang-ayang tersebut sangat bergantung pada sudut posisi matahari. Apabila matahari dalam posisi rendah, maka bayangan orang itu menjadi panjang, dan apabila sudut matahari tinggi, bayangan semakin pendek.

    Terdapat pula kata yang berhubungan dengan kata ayang, yaitu ngayang. Ngayang (Bahasa Jawa), artinya seseorang dalam keadaan melengkungkan badannya kebekakang dengan posisi kepala meilhat kebelakang; atau hanya sampai pada melihat dan memeperhatikan langit, angkasa atau 'atas'. Sehingga apabila dikaitkan dengan pengertian wayang dalam konteks hyang, yang berarti roh melayang-layang di angkasa atau keatas, maka kata ngayang tersebut ada relevansinya. Hanya saja kata ngayang biasanya dipergunakan dalam konteks permainan maupun olah raga (permainan tersebut dinamakan brok atau sawah-sawahan; suatu permainan anak-anak di Jawa yang sangat populer dengan mempergunakan pecahan genteng sebagai gacuk (alat yang dilemparkan oleh si pemain); sedangkan dalam olah raga biasanya salah satu gerakan senam).

    Pengertian-pengertian wayang di atas lebih beroriantasi pada seni pertunjukan yang memperhatikan/menekankan pada efek yang dihasilkan pada suatu boneka atau sejenisnya setelah benda tersebut dikenal/disorot dengan cahaya yang datangnya dari sebuah lampu (blencong), yang kemudian menghasilkan suatu bayangan. Dari bayangan yang dihasilkan itu kemudian ditangkap oleh sekat, layar(kelir), yang akhirnya menghasilkan bayangan lagi di bagian belakang layer (dibalik kelir). Bila demikian maka terdapat dua bagian bayangan; yang pertama, bayangan di depan layer terjadi apabila boneka tersebut digerakkan menjauhi layer dan mendekati blencong, maka bayangan akan membesar baik didepan atau di belakang layer.

  1. SEJARAH WAYANG

II.1. Wayang dalam karya sastra

    Wayang dalam bentuk karya tertulis banyak jumlahnya. Apabila ditelusuri secara diakronis, maka cerita dengan lakon wayang tidak dapat dipisahkan dari perjalanan karya sastra wayang itu sendiri. Tokoh wayang yang sekarang dikenal oleh sebagian besar masyarakat Indonesia, terutama Jawa, tidak terpisahkan dari epos tanah Hindu(India), terutama Ramayana dan Mahabharata dan perbedaannya dengan yang terdapat di Indonesia, namun ditinjau dari persamaan nama tokoh, maka hal itu tidak dapat dipisahkan (kerangka pemikiran histories), meskipun mengalami sedikit perubahan (transformasi budaya).

    Lakon-lakon yang dipentaskan di dalam pertunjukkan wayang tidak secara langsung mengambil dari cerita-cerita yang bersumber dari India (berbahasa Sansekerta) maupun Jawa Kuno, tetapi menyajikan lakon-lakon wayang yang sudah diciptakan dan digubah oleh para pujangga (sastrawan) Jawa pada 'jaman Jawa baru', seperti kitab Pustaka Raja Purwa (gagrag Surakarta) dan Serat Kandaning Ringgit Purwa (gagrag Yogyakarta). Paling tidak dari dua sumber tersebut lakon-lakon wayang kemudian diciptakan tersebut dapat dibentuk dalam dua lakon besar, yaitu lakon pokok/baku/lajer/pakem dan lakon carangan. Lakon Pakem yaitu lakon yang sudah dibukukan (serat pakem tuntungan pedalangan), sudah diturunkan selama lebih dari dua generasi dan sudah banyak dipentaskan oleh banyak dalang lakon carangan (carang=ranting); ibarat pohon merupakan cabang-cabang dari pohon inti (batang); yaitu lakon yang belum dibukukan, belum diturunkan lebih dari dua generasi dan belum dipentaskan oleh banyak dalang. Adapun pengertian lakon pakem terbagi menjadi dua bagian, yaitu: lakon pakem belungan dan lakon paken jangkep. Lakon balungan ialah lakon yang memuat pokok/inti cerita dan mengandung urutan pengadegan. Sedangkan lakon pakem jangkep yaitu lakon yang memuat seluruh/hamper seluruh unsure-unsur didalam pertunjukan wayang, yang biasanya erat menggunakan judul serat pakem tuntunan pedhalangan (sedalu muput). Ki Siswoharsojo menuolis beberapa lakon wayang yang dijadikan patokan (lakon pakem) oleh para calon dalang maupun para dalang, antara lain: Wahyu Makutharama dan Wahyu Purbasejati; Ki Nojowirongko menggubah buku akem pedalangan Lempahan Irawan Rabi/pernikahan Irawan (berisi mengenai patokan mendalang dan lakon pernikahan Irawan itu sendiri). Sedangkan untuk lakon balungan sebagi contoh yaitu: Pakem Ringgit Purwo Lampahan Laripun Romo – Brubuh Ngalangka, yang disusun oleh Ki S. Soetarsa. Lakon carangan yang pernah dipentaskan oleh beberapa dalang yaitu Petruk Kelangan Pathel dan Bagong Sunat.

    Wayang yang termuat di dalam suatu karya sastra dapat pula sebagai sumber informasi mengenai pertunjukkan wayang (permainan bayang-bayang), bukan mengenai cerita atau lakon wayang itu sendiri. Sebagai contoh: di dalam Arjunawiwaha Kakawin karya Empu Kanwa, pada jaman Airlangga di Jawa Timur (950 Saka=IX sesudah Masehi), masa kediri, disebutkan mengenai seseorang menonton wayang menangis sedih, bodoh sekali ia, padahal sudah tahu yang disaksikan itu adalah kulit yang ditatah, kata orang ia terkena gaya gaib.


 

II.2 Wayang dalam prasasti dan relief candi

    Pada masa purba Indonesia, informasi mengenai suatu berita dapat ditulis pada prasasti. Prasasti dapat berupa tonggak batu maupun lempengan tembaga. Sebagai contoh: prasasti Mulawarman dari Kutei, bertulisan Pallawa sekitar tahun 400M, berbentuk yupa (sebuah tugu peringatan upacara kurban), berbahasa Sansekerta dan tersusun dalam bentuk syair. (Soekmono, 1991:53). Prasasti dapat dipandang sebagai benda yang bernilai sejarah. Dari prasasti itu dapat ditelusuri keterangan-keterangan mengenai suatu berita atau cerita pada masa lampau. Dari prasasti itu pula dapat dideteksi mengenai latar belakang/orientasi pemikiran masyarakat pada waktu itu. Sebagai contoh adanya pemikiran religius Jawa Kuna, yang salah satunya dalah menyembah dan menganggungkan dewa-dewa, seperti kepada dewa Wisnu, Brahma, dan Siwa.

    Beberapa prasasti telah membuktikan bahwa pertunjukkan wayang telah ada pada jaman kuna. Misalnya empat lempengan tembaga yang di temukan di Bali. Lempengan ini berangka tahun 980 Saka (1058 M) dan isinya telah disalain oleh Van Der Tuuk dan Dr. Brandes. Lempengan ini menyebutkan kata ringgit. Kata ringgit hingga saat ini masih dipergunakan sebagai sinonim dari kata wayang. Dengan demikian penggunaan kata ringgit untuk pengertian wayang telah sangat tua. Lebih lanjut Hazeu mengatakan lempengan berangka tahun 782 Saka yang diterbitkan dan di terangkan oleh Prof. Kern terdapat istilah juru barata. Istilah tersebut berarti orang yagn memainkan teater atau lelucon atau dalang. (1979: 45). Kecuali itu did ala mlempengan yang memuat kata kawi yang diterbitkan oleh Cohen Stuart, dibicarakan tentang juru banyol dan aringgit, abanyol. Lempenan ini berangka 762 Saka, meskipun didalam prasasti (lempengan logam) berulang kali disebutkan kata ringgit namun dengan menyebutkan secara berdiri sendiri, kirany sulit untk membuat kesimpulan, sementara itu sejak abad IX setelah masehi, sekalipun dalam keadaan yang sangat kuna, di Jawa sudah ada pertunjukkan teater bayang-bayang tersebut diduga merupakan asal pertunjukkan wayang yang kita kenal sekarang.

    Keterangan mengenai wayang juga ditemukan pada relief candi; berupa gambar atau visualisasi tokoh-tokoh wayang yang dipahat pada dinding-dingdingnya. Apabila kita beranggapan bahwa wayang berasala dari gambar-gamabr relief candi, maka dugaan yang dikemukakan adanya usaha orang jaman dulu untuk mengutip gambar pada relief tersebut agar dapat digulung, dan dapat dibawa kemana-mana sehingga dapat dipentaskan atau dipergelarkan. Dugaan tersebut terbukti dengan banyaknya candi yang memuat cerita wayang, misalnya: relief di Candi Prambanan, candi Jago, candi Panatara. Pada candi-candi tersebut didapatkan stilisasi tokoh-tokoh dalam relief yang tidak serupa dengan wayang kulit Purwa (Jawa) tetapi mirip dengan adanya wayang dari kertas yang dapat digulung dan digelar, terkenal dengan nama wayang beber yang masih tumbuh dan berkembang didaerah Wonosari, Yogyakarta dan Pacitan di Jawa Timur. Sesuai dengan evolusi bentuk stilisasi yang mengilhaminya, maka seyogyanya yang diambil sebagai pola ialah perkembangan terakhir. Disamping itu pada candi Panataran terdapat dua gaya relief, yaitu gaya yang dekat dengan berntuk-bentuk alam, seperti yang terdapat pada cerita Kresnayana dan gaya dekoratif mirip wayang yang terdapat pada panil-panil relief Ramayana. Dengan demikian nampak bahwa tidak benar suatu anggapan yang memandang gaya realistic pada relief candi Panataran kemudian berangsur-angsur berubah menjadi dekoratif seperti yang terdapat pada candi-candi di Jawa Timur yang lebih tua usianya. Kemudian pada candi Jago, terdapat tradisi untuk membatasi adegan-adegan dala mrelief dengan menggunakan gunungan-gunungan atau kayon seperti yang terdapat pada pertunjukan wayang kulit. Ini rupa-rupanya terpengaruh pekeliran wayang kulit yang selalu mengawali dan mengakhiri adegan-adegannya dengan cara menancapkan gunungan di tengah layer. Tanpa pengaruh ini kiranya mustahil orang sampiai pada pemilihan gunungan atau kayon sebagai pembatas adegan dalam relief candi. Misalnya di candi Surawana, pembatas adegannya ialah motif ikal bersambung yang dibuat menegak memenuhi seluruh tinggi relief. Dengan demikian maka keteragnan tentang wayang pun dapat ditemukan pada prasasti dan relief candi, disamping keterangan mengenai wayang di dalam karya sastra.


 

II.3 Jenis-jenis wayang di Indonesia

    Wayang yang tersebar di seluruh Indonesia terdiri dari berbagai bentuk dan jenisnya. Bentuk dan jenis wayang tersebut dapat dikelompokkan menjadi beberapa bagian, yaitu berdasarkan: 1. Sumber ceritanya; 2. Bahan boneka atau sejenisnya; 3. Wilayah kebudayaan(asal dan penyebarannya); 4. Bunyi (musik) instrument yang terdengar; Bentuk pertunjukannya; 6. Fungsinya; dan 7. Bunyi benturan boneka wayang. Pengklasifikasian ini cenderung berorientasi pada masalah penamaan atau penyebutan wayang. L. Surruer telah mengadakan angket penelitian tentang jenis-jenis wayang yang ada di pulau Jawa seperti yang disunting oleh Padam Guritno; hasil penelitian itu diterbitkan berupa buku yang berjudul De Wayang Poerwa; buku ini memuat jenis-jenis wayang yang dikenal di pulau Jawa, diantaranya: wayang beber, gedhog, golek, jemblung, klithik, krucil, langendria, lilingong, lumping, madya, pegon, purwa, purwara, sasak, topeng, dan wayang wong. Namun rupa-rupanya penelitian ini belum mencakup semua jenis dan bentuk wayang di Indonesia, sehingga perlu dilengkapi dan dikembangkan.

    Perkembangan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi sangat berpengaruh terhadap perkembangan perwayangan dan pedalangan di Indonesia. Dengan adanya ilmu pengetahuan dan teknologi itu para seniman dalang dapat menciptakan jenis-jenis wayang baru sesuai dengan keinginannya. Seiring dengan hal itu maka pemikiran masyarakat seniman, dalam hal ini para dalang juga turut berkembang. Pertumbuhan dan perkembangan wayang yang dikaitkan pada penciptaan karya seni berorientasi pada boneka wayang, pertunjukan wayang dan sastra wayang.


 

II.4 Pendukung dan perlengkapan pertunjukan wayang

    Pendukung seni pertunjukan seni wayang ini terdiri paling tidak empat unsur, yaitu dalang, nayaga, pesinden, wiraswara. Sedangakan perlengkapan seni pertunjukan wayang dapat terdiri dari wayang, kelir, blencong, dobog, kotak wayng, cempala, kepyak dan gamelan.


 

1. Dalang

    Dalang dapat dikatakan sebagai seniman utama dalam pertunjukan wayang. Ia sebagai pemimpin pertunjukan (leading artist), sehingga ia dapat sebagai pusata perhatian penonton dalam memeinkan wayang. Pada umunya dalang adalah pria, karena pekerjaan sebagai dalang memang amat berat. Dalang dalam wayang harus duduk bersila semalam suntuk, melaksanakan pertunjukan tersebut (yang dimainkannya), dan juga memimpin lain-lain seniman-seniwati yang duduk dibelakangnya dengan aba-aba tersamar, berupa wangsalan atau petunjuk sastra yang diselipkan dalam cariyos atau narasinya, berupa gerak-gerik wayang. Nyanyian, dedogan, dan kepyakan. Secara tradisional ada beberapa kelas dalang, yaitu: 1. mereka yang beru dapat mendalang; 2. yang sudah pandai mendalang; 3. yang telah menguasai semua isi pendalangan; 4. yang telah menguasai semua isi perdalangan; 5. dalang sejati yang disamping telah menguasai semua isi pedalangan juga dapat memberi suri tauladan kepada masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, seorang yang arif, bijaksana dan patut dihormati.


 


 


 


 


 

2. Nayaga

    Adalah sebutan bagi para penabuh gamelan. Untuk mengiring pertunjukan wayang kulit purwa, nayaga itu sedikitnya sepuluh orang untuk memainkan sedikitnya lima belas peralatan gamelan. Nayaga biasanya pria. Yang menduduki tempat terpenting untuk mengiringi pertunjukan wayang adalah penabuh kendang, karea biasanya ialah yang menangkap isyarat atau perintah dari dalang, dan meneruskannya pada nayaga lain, terutama untuk melirihkan atau mengeraskan bunyi gamelan, mempercepat atau memperlambat irama gending, memulai dan menghentikannya. Dikalangan karawitan Jawa kini dikenal juga nama lain bagi para nayaga yaitu pradangga, nama yang kita tahu baru diperkenalkan sevcara luas setelah negara kita merdeka, meskipun istilah itu sudah lama dikenal. Disamoing menabuh gamelan, para nayaga itu juga kadang-kadang menyanyi dalam paduan suara pria yang dinamakan gerong.

3. Swarawati

Pesinden atau penyanyi wanita sudah lama dikenal dikalangan seni di pulau Jawa. Namun sebagai seniwati yang mengiringi pagelaran wayang purwa, mereka baru dikenal sekitar dasawarsa tiga puluhan abad ini, sehingga mulai masa itu setiap pagelaran wayang purwa ada pesindennya. Dan dianggap tidak wajar apabila pesindennya tidak ada. Jika para nayaga dinamakan pradangga, maka para pesinden pun mendapat nama-nama baru yaitu waranggana, widuwati atau swarawati.

4. Wiraswara

    Wiraswara ialah seorang atau beberapa orang laki-laki yang mempunyai peran melantunkan syair tertentu untuk mengisi jalannya alunan gending. Pengertian wiraswar yaitu, wira = perwira (berani/sakti/ampuh), swara = suara, jadi yang dimaksudkan wairaswara ialah orang atau beberapa orang yang mempunyai "kesaktian" dalam hal tarik suara. Dalam pertunjukan wayang posisi wiaraswara biasanya dibelakang atau sejajar dengan swarawati.


 


 


 


 


 

5. Wayang

    Satu kotak wayang kulit purwa berisi sekitar 200 buah boneka atau wayang yang terbuat dari belulang atau kulit kerbau, dan dapat juga terbuat dari kulit lembu (namun ini kurang baik). Bagi para penggemar wayang berbeda, jumlah wayang-wayangnya dapat berlipat dua atau lebih jumlah tersebut. Menurut buku-buku, koleksi wayang kulit yang lengkap jumlanhya sekitar empat ratus buah.

6. Gamelan

    Alat musik tradisional ini kebanyakan adalah instrument pukul yang kebanyakan terbuat dari perunggu yang berkualitas baik atau juga dari besi. Berbagai jenis gamelan yang saat ini digunakan untuk mengiringi pagelaran wayang adalah kendang (besar,sedang, kecil atau ketipung), rebab (instrument gesek atau cordophone), gender (dapat dua buah) demung (semacam gender besar), gambang (instrument pukul dari kayu), suling (satu-satunya instrument tiup), siter (cordophone), kempyang atau kemong (tergantung laras gamelannya), kethuk, kempul, saron (dua buah), saron kecil (peking), saron besar (slenthem), boning (dapat dua buah) dan gong.

7. Kelir

Yang dimaksud dengan panggung dimuka adalah bagian kelir atau layer di depan dalang yang lebarnya sekitar 160 cm. kelir itu dibuat dari kain katun berwarna putih. Pinggiran bagian atas dinamakan pelangitan yang menunjukan langit atau angkasa, dengan lebar layar yang lebih, demikian pula bagian pinggir kiri dan kanan yang fungsinya sebagai hiasan.

8. Blencong

    Adalah nama lampu minya kelapayang digunakan dalam pertunjukan wayang kulit purwa. Lampu ini terbuat dari logam atau perunggu, biasanya bentuknya menyerupai burung dengan ekornya berfungsi sebgai reflector. Sebagai sumbu lampu minyak itu dinamakan lawe, yaitu benang-benang kapas yang keluar dari paruh burung yang menyerupai garuda.


 


 


 


 


 

9. Debog

    Untuk pertunjukan wayang purwa biasanya diperlukan tiga batang pisang yang cukup panjang, dari jenis pisang yang padat batangnya. Dhebog atas merupakan bagian pentas untuk menancapkan tokoh-tokoh wayang yang berstatus tinggi. Dhebog atas disebut pamedan sedang dhebog bawah disebut paseban. Adapun status yang menentukan apakah seorang tokoh wayang berdiri atau duduk (dari sisi bayangan) adalah berdasarkan pangkat, usia atau kedudukannya dalam keluarga.

10. Kothak

    Adalah peti wayang yang terbuat dari kayu, namun kayu yang terbaik adalah dari kayu nangka, ukuran biasanya panjang 150 cm, lebar 75 cm, dan tinggi termasuk tutupnya 55 cm, sedang tebal papan kayu yang digunakan untuk membuat kothak itu kira-kira 2 cm. pada waktu pertunjukan kothak itu ditempatkan di sebalah kiri dalang, membujur kearah kelir.

11. Cempala

    Dua buah cempala digunakan dalam pertunjukan wayang purwa. Cempala besar dubuat dari kayu jenis keras, biasanya kayu jait, cempala besar ini biasanya dipegang tangan kiri dalangdan diketuk-ketukan pada bagian dalam kotak yang dekat padanya dimana perlu. Cempala kecil terbuat dari logam berukuran separuh cempala besar. Dalam pertunjukan , cempala ini dijepit empujari kaki kanan dalang dan jari kaki sebelahnya.

12. Kepyak

    Alat yang disebut kepyak (Surakarta-Yogyakarta) atau kecrek (Banyumas) itu bentuk dan bahan-bahan pembuatannya dapat berbeda-beda, meskipun fungsinya sama, yaitu mirip dengan cempala.

8 komentar: